Sumbu Pendek

7
Agu 2024
Kategori : Artikel
Penulis : humas
Dilihat :639x

Oleh: Herlin*

 

Nah, pernah dengar istilah sumbu pendek? Pernah dong ya cuma mungkin agak kurang familiar di telinga kita. Namun istilah ini memang ada. Kata “Sumbu Pendek” sering kita dengarkan disematkan pada orang yang pendek pikiran.

Secara bahasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sumbu merupakan benang atau kapas yang berfungsi sebagai jalan  untuk peresapan minyak  ke bagian yang disulut.  Misalnya adalah sumbu kompor atau lampu. Semakin panjang sebuah sumbu maka akan semakin lamalah api menyala di bagian yang disulut. Akan berbeda halnya dengan sumbu yang pendek. Begitu disulut, api langsung menyala. Bahkan, untuk petasan atau meriam pada umumnya digunakan sumbu pendek agar cepat meledak.

Sumbu pendek biasanya dipakai pada seseorang yang rendah tingkat kesabarannya dalam menghadapi msalah yang dihadapi sehingga mudah terpancing emosi. Orang-orang seperti ini biasanya bersikap temperamen dan mudah terbakar emosi dalam menghadapi suatu masalah sehingga dianalogikan seperti sumbu pendek yang cepat habis bila dibakar.

Orang-orang sumbu pendek ini, biasanya sangat mudah dimanfaatkan oleh orang lain yang ingin mengais keuntungan dari  permasalah tersebut karena mereka cenderung mudah terprovokasi. Kurangnya riset atau “check n balance” terhadap isu yang mereka dengar ditambah dengan “prasangka buruk” biasanya menjadi penyebab mudahnya “emosi buruk” mereka terpancing.

Dalam kehidupan sehari-hari, ungkapan “sumbu pendek” menggambarkan seseorang yang mudah marah atau kehilangan kesabaran. Ungkapan ini berasal dari sumbu (tali) yang menempel ke dinamit. Semakin pendek sumbunya, makin cepat juga meledaknya. Jadi, orang yang dilabeli seperti ini adalah orang yang mudah sekali meledak atau marah-marah.

Di sinilah filosofi dari sumbu pendek ini muncul bahwa ada manusia yang begitu gampang tersulut dan meledak-ledak dalam sebuah kemarahan. Begitu terpancing, emosi langsung muncul. Emosi ini akan berbahaya tatkala si sumbu pendek ini langsung mengambil keputusan final. Hal ini lebih fatal jika dilakukan oleh seorang pimpinan. Dia dengan serta merta mengambil keputusan di saat emosi.

Biasanya, putusan yang diambil dalam kondisi emosi dinilai tidak objektif. Untuk itu, bersikap sabar adalah yang terbaik. Dengan berlaku sabar, emosi  bisa diminimalisir sehingga ‘sumbu’ ini tidak akan meledak.

Fenomena sumbu pendek ini juga sering terjadi dalam rumah tangga. Tidak sedikit suami atau istri yang menginginkan jalan pintas ketika terjadi masalah. Begitu ngaji dan melihat pasangannya belum mau diajak ngaji, dia melihat banyak kekurangan pada pasangan langsung berpikir untuk bercerai. Lalu mencari pasangan baru. Padahal mungkin dia belum maksimal untuk mendakwahi dan mendoakan pasangannya.

Ketahuilah, bisa jadi justru akan banyak sekali hikmah kebaikan di balik kondisi tersebut. Allah Ta’ala mengingatkan, Artinya: “(Wahai para suami) perlakukanlah istri-istri kalian dengan cara yang baik. Jika kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah). Karena boleh jadi kalian tidak menyukai sesuatu, padahal ternyata Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya”. QS. An-Nisa’ (4): 19.

Dalam ayat tersebut Allah menyebutkan bahwa “Karena boleh jadi kalian tidak menyukai sesuatu, padahal ternyata Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” Ini bermakna bahwa di balik kondisi tersebut ada kebaikan yang dapat dipetik seperti mematuhi nasehat Allah yang mengajak untuk bersabar. Tentu kepatuhan tersebut akan mendatangkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Kondisi ini juga bisa memaksa untuk melatih diri berakhlak mulia, bersabar, berlemah lembut, bertutur kata halus dan lain sebagainya. Selain itu, boleh jadi perasaan benci yang sekarang ada, akan berubah menjadi perasaan cinta di suatu hari nanti.

Setelah berbagai upaya perbaikan dilakukan secara maksimal, kemudian situasi dan kondisi tidak memungkinkan untuk melanjutkan berumah tangga dan harus berpisah, itupun tidak masalah dalam agama kita. Yang penting tidak sumbu pendek, terburu-buru mengambil keputusan, sebelum berusaha maksimal melakukan perbaikan.

*Penulis adalah penyuluh Agama Islam Singkawang Tengah