Dorong Implementasi Satuan Pendidikan Ramah Anak (SRA) & Madrasah Inklusi, Rohmawati Monitoring di 8 RA-Madrasah
Singkawang (Kemenag) – Kepala Seksi Pendididikan Islam, Hj. Rohmawati melakukan monitoring implementasi Satuan Pendidikan Ramah Anak (SRA) di 8 lokasi RA dan madrasah pada akhir November hingga awal Desember 2024.
“Monitoring ini merupakan tindak lanjut penetapan seluruh satuan pendidikan di lingkungan Kantor Kementerian Agama Kota Singkawang sebagai Satuan Pendidikan Ramah Anak melalui SK Kepala Kantor pada Juni 2024 dan Deklarasi pada Juli 2024”, jelas Rohma seusai melakukan monitoring di MTs dan MA YASTI pada Selasa (03/12). Melalui monitoring ini kami ingin memetakan dan mendorong progres pembangunan SRA di RA dan madrasah,” lanjutnya.
Selain di MTs dan MA YASTI, sebelumnya Rohmawati yang didampingi pelaksana Pendis, Liana Aisyah juga mengunjungi MTsN Singkawang, MIN Singkawang, RA Fajar Harapan, RA Bina Anak Muslim (BIAM), RA Nurul Islam, dan RA Miftahul Jannah. “Kedelapan RA-madrasah ini kami pilih sebagai sampel karena merupakan madrarah inklusi atau madrasah yang sedang mempersiapkan diri menjadi madrasah inklusi berdasarkan pendataan madrasah inklusi oleh Kanwil Kemenag pada Oktober 2024”, terang Liana Aisyah.
Lebih lanjut Rohmawati menjelaskan bahwa madrasah inklusi merupakan salah satu kriteria penilaian SRA. “Kami sangat mengapresiasi RA dan madrasah yang telah menerima siswa difabel (siswa berkebutuhan khusus) dan berusaha memberikan pelayanan terbaik dengan kondisi sarana prasarana maupun kesiapan SDM yang ada”, tuturnya.
MTs dan MA YASTI serta RA Nurul Islam, RA Fajar Harapan, dan RA BIAM memiliki sejarah yang cukup panjang dalam menerima siswa difabel.
“Sangat membahagiakan ketika mendengar kabar siswa yang dulunya mengalami hambatan belajar seperti slow learner atau disleksia kini sudah sukses”, ungkap Eka Andriani Kepala MTs YASTI.
Komunikasi dan kolaborasi dengan orang tua menjadi kunci kesuksesan pembelajaran siswa berkebutuhan khusus. Di jenjang RA ini menjadi tantangan tersendiri karena ada kalanya orang tua belum mengetahui bahwa putra-putrinya memiliki disabilitas tertentu, seperti autisme atau ADHD, demikian Renti Ningsih, Kepala RA Fajar Harapan, yang diamini oleh para Kepala RA lainnya.
“Sejak beberapa tahun lalu kami memiliki program asesmen terhadap siswa baru yang dilakukan oleh psikolog professional”, tutur Nurhayati, Kepala RA Nurul Islam. Selanjutnya psikolog akan menyampaikan hasil kepada orang tua beserta saran tindak lanjut, termasuk jika siswa perlu terapi, perubahan pola asuh, atau perubahan asupan makanan. Ini sangat membantu kami dalam berkomunikasi dengan orang tua, pungkasnya.
Sementara itu Muslimah, Kepala MIN Singkawang mengungkapkan bahwa, “kehadiran siswa difabel mendorong peningkatan sarana prasarana yang menunjang. Karena tahun ini kami memiliki siswa pengguna kursi roda karena kakinya sedang sakit, kami mengupayakan toilet disabilitas dan tangga miring (ramp) sehingga siswa tersebut dapat tetap bersekolah”, terangnya.
Meskipun belum memiliki siswa difabel, MTsN telah mencanangkan tekadnya menjadi madrasah inklusi. Madrasah yang dipimpin oleh Ajat Sudrajat ini telah mengadakan In House Training Pendidikan Inklusi bagi Pimpinan Madrasah, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Pengurus Komite. “Alhamdulillah, gedung baru madrasah sudah didesain aksesibel bagi pengguna kursi roda dan memiliki toilet difabel”, tuturnya. (Liana/skw)